Hukum Newton 1



Hukum Newton I menyatakan bahwa: jika resultan gaya pada suatu benda sama dengan nol, maka benda yang mula-mula diam akan tetap diam; benda yang mula-mula bergerak akan terus bergerak dengan kecepatan tetap. Artinya suatu benda akan mempertahankan keadaan gerak atau keadaan diamnya. Seperti ketika kita terdorong ke depan saat mobil yang kita kendarai direm mendadak, karena ketika mobil bergerak kita sebenarnya juga bergerak searah dengan mobil; jadi ketika mobil itu dihentikan; kita seolah terlalu repot untuk ‘menghilangkan kebiasaan’ kita yang bergerak maju tadi.

Hukum Newton I ini menerangkan peristiwa yang disebut pembiasaan. Meski hukum ini dikenal pada tahun 1665 sebenarnya kita juga sudah tahu bahwa peristiwa ini lumrah adanya, Cuma saja beliau lebih dulu merumuskannya. Padahal kita mungkin pernah mendengar hadits Nabi yang memerintahkan kita, sebagai orang tua, untuk menyuruh anaknya sholat ketika berumur 7 tahun, dan memukulnya jika ia berumur 10 tahun tapi tidak mau sholat juga? Disini juga berlaku rumus pembiasaan. Anak-anak itu dibiasakan sholat agar ketika nanti sudah baligh, sholat sudah menjadi kebiasaan dan kebutuhannya.

Perilaku manusia sebenarnya dilahirkan dari rahim kebiasaan. Jika ia terbiasa bersusah payah, ia tidak akan terkejut ketika menimang kesusahan. Tapi, yang tidak terbiasa dengan kesulitan, dan hanya mengerti hidup yang enak, akan sulit membiasakan diri dengan hal-hal yang sulit. Sejarah banyak menceritakan kebenaran teori itu. Jadi, kebiasaan yang ada dalam kehidupan kita terbentuk dan dibangun dalam waktu yang lama sehingga kita merasa mudah untuk melakukan dan mengulanginya bahkan dalam melakukannya terkadang kita tidak lagi perlu berfikir panjang.

Kebiasaan sebenarnya merupakan perpaduan dari Pengetahuan, keinginan dan keahlian. Pengetahuan yang bersifat teoritis mengenai sesuatu yang ingin dikerjakan; keinginan yang merupakan motivasi atau kecenderungan untuk melakukan sesuatu; dan keahlian berupa kemampuan untuk melakukannya.
Jika ketiga unsur itu bertemu didalam perbuatan, maka perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai kebiasaan. Akan tetapi jika kurang salah satunya, maka perbuatan itu tidak dapat dikategorikan sebagai kebiasaan. Membaca (bisa membaca, mengetahui pentingnya membaca dan ada motivasi atau keinginan untuk membaca); bandingkan bagaimana situasi yang muncul ketika kita ‘terpaksa’ membaca hanya karena besok pagi ulangan harian.

Kebiasaan dapat berupa sesuatu yang diindera, seperti makan makanan tertentu, rajin beruluk salam, menghiasi sms dengan titik-titik, dan seterusnya. Tetapi juga dapat berupa sikap atau perasan: misalnya menghormati orang lain, memberikan senyuman, jujur, tidak bergunjing dll.
Ada banyak kegiatan yang pada mulanya bukan kebiasaan, namun lama kelamaan menjadi kebiasaan, yang dikhawatirkan kebiasaan ini akan menjadi semacam kebenaran karena kita sering membenarkan kebiasaan bukan membiasakan yang benar. Menggosip sebagai contoh, mengapa kita menganggap itu hal yang lumrah dan bisa menjadi begitu ketagihan. Ini karena pembiasaan. Kita kadang terbiasa ‘menghargai’ orang yang tahu banyak tentang kekurangan orang lain, dan mendengarkannya dengan penuh kenikmatan. Kita terbiasa segan untuk menghentikan rentetan cerita peristiwa tentang si A, si B dan seterusnya. Kita terkadang mencibir ketika sesosok teman berlalu ketika kita mula bergosip. Kita sudah kecanduan.

Lantas apa bahayanya?

Ustadz Abdul Hamid Al Bilali, pernah menuturkan; akibat kesalahan yang dilakukan terus menerus adalah sikap tidak merasa berdosa dan tidak merasa bersalah. Perasaan tidak bersalah dan tidak berdosa itu sendiri, bisa disebabkan kondisi akrab dengan dosa tertentu yang terlalu sering dikerjakan.Situasi seperti inilah yang paling ditakutkan Al Hasan Az Zayyat rahimahullah. Ia mengatakan, “Demi Allah, aku tidak peduli dengan banyaknya kemungkaran dan dosa. Yang paling aku takutkan ialah keakraban hati dengan kemungkaran dan dosa. Sebab jika sesuatu dikerjakan dengan rutin, maka jiwa menjadi akrab dengannya dan jika demikian, jiwa menjadi tidak memiliki kepekaan lagi.”
Bagi Al Hasan, kesalahan dan dosa itu masih bisa dianggap kewajaran lantaran manusia memang pasti melakukan salah dan dosa. Yang ia khawatirkan justru ketika kesalahan dan dosa itu tidak dapat dihentikan, dilakukan terus menerus, menjadi pembiasaan, lalu jiwa menjadi tidak sensitif terhadap kesalahan dan dosa itu.

Akibat dosa yang lebih berbahaya dari kondisi ini yakni perasaan aman dan tidak mendapatkan hukuman dari berbagai dosa yang dilakukan. Artinya, seseorang bukan saja tidak menyadari dosa yang dilakukan, tapi lebih dari itu, merasa tenteram dan aman dari hukuman yang Allah Subahana Wa Ta’ala berikan.

Camkanlah nasihat yang dituturkan Imam Ibnul Jauzi dalam Shaidul Khatir, “Ketahuilah, ujian paling besar bagi seseorang adalah merasa aman dan tidak mendapatkan siksa setelah mengerjakan dosa. Bisa jadi hukuman datang belakangan. Dan hukuman paling berat adalah jika seseorang tidak merasakan hukuman itu. Sampai hukuman itu menghilangkan agama, mencampakkan hati hingga tak bisa menentukan pilihan yang baik. Dan, di antara efek hukuman ini adalah seseorang tetap melakukan dosa justru disaat tubuhnya segar-bugar dan seluruh keinginannya tercapai.”

Kita sebenarnya sudah banyak tahu hal ini, tapi kita memang susah untuk mengerti. Susah membiasakan berbuat baik dan susah membiasakan untuk meninggalkan perbuatan yang tidak baik. Sebenarnya kita dapat membentuk kebiasaan baru yang bermanfaat dengan cara, berusaha mencari pengetahuan tentang sesuatu yang akan kita lakukan, melatih diri sehingga kita mampu melakukannya dan diteruskan dengan upaya membangkitkan motivasi atau keinginan melakukannya.

0 komentar:

Posting Komentar